Selasa, 10 Mei 2011

Ranah 3 Warna: Bersabarlah, dan Anda akan Beruntung

TEPAT tanggal 23 Januari 2011 kemarin Ranah 3 Warna, seri kedua dari trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, resmi terbit. Hampir dua tahun sejak peluncuran novel yang pertama. Bukan waktu yang terlalu lama sebenarnya. Saya sendiri bukan penggemar trilogy ini jadi bukan termasuk mereka yang menunggu novel ini terbit, walaupun konon karya pertamanya sangat fenomenal dan inspiratif. Tapi seperti yang saya ceritakan sebelumnya joinan saya dengan pacar untuk tukar-menukar pinjam Ranah 3 Warna dengan Negeri 5 Menara membuat saya akhirnya membeli novel ini. Jika Negeri 5 Menara mempunyai cerita yang unik, menarik dan inspiratif, lantas kemudian bagaimana dengan novel ini? Sama inspiratifnya atau malah menurun?
Alif masih menjadi sentral dalam cerita novel ini. Hanya saja kali ini dia sudah berpisah dengan para Sahibul Menara. Lulus dari pesantren Alif pulang kampung dan sejenak bereuni denga Randai, sahabat sekaligus kompetiornya, yang sedang libur kuliah dari ITB. Alif ingin menyusul jejak Randai kuliah di ITB. Sayang untuk menggapai itu tidak mudah. Bahkan Randai-pun meragukannya karena Alif hanyalah lulusan sekolah agama, tanpa ijazah pula.
Terinspirasi semangat timnas Denmark yang di luar ekspektasi banyak orang bisa menjuarai Piala Eropa 1992 Alif berusaha keras lulus ujian persamaan SMA dan kemudian lulus SMPTN. Karena kurang mahir dengan ilmu pasti, Alif memutuskan memilih jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Bandung. Sukses, Alif pun menjadi mahasiswa Unpad. Di Bandung dia tinggal bersama Randai. Walaupun rukun, tetap saja mereka bersaing, termasuk untuk mendapatkan perhatian Raisa. Raisa ini tetangga kos Alif dan Randai. Dalam hal ini Randai lebih unggul karena Alif cenderung canggung bila berhadapan dengan wanita. Latar belakang pesantren membuat dia seperti itu.
Suatu waktu Alif bisa mengalahkan Randai. Alif mengalahkan Randai dalam perebutan merebutkan program pertukaran pelajar ke Kanada. Kebetulan Raisa juga lolos. Alif merasa peluang dia ‘mendapatkan’ Raisa lebih besar karena pada titik ini dia sudah ‘lebih’ dari Randai, sampai nantinya di akhir cerita impian Alif mendapatkan Raisa itu berantakan. Barantakan bagaimana? Silahkan Anda baca sendiri novel ini.
Secara garis besar novel ini terbagi menjadi 2 plot. Plot yang pertama tentang perjuangan Alif menembus perkuliahan sampai menjadi mahasiswa. Subplot-nya ada dua yaitu yang pertama perjuangan menembus perkualiahan dan yang kedua suda-duka menjadi mahasiswa. Di sini diceritakan banyak halangan selama Alif menjadi mahasiswa, mulai kehabisan uang, dirampok saat berjualan, berselisih dengan Randai dan yang terparah adalah ayahnya meninggal.
Plot yang kedua bercerita tentang kehidupan Alif di Kanada selama ia menjalani pertukaran pelajar. Selama di Kanada dia magang menjadi volunteer di salah satu tv local dan nantinya membuat satu program acara yang fenomenal karena melibatkan tokoh politik nasional Kanada. Selain itu juga diceritakan tentang kehidupan dia di Kanada bersama kawan-kawannya yang asli Indonesia juga kawan-kawan barunya yang asli Kanada, termasuk bersama ibu asuhnya di Kanada.
Kalau nyawa dari Negeri 5 Menara adalah pada potongan ayat man jadda wajada (siapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan berhasil), maka di Ranah 3 Warna ini nyawanya ada pada man shabara zafira (barang siapa yang bersabar dia akan beruntung). Mantra yang ini boleh dibilang mantra yang pasif karena menganjurkan kita bersabar untuk menunggu keberuntungan itu datang, berbeda dengan mantra yang pertama yang mengajarkan kita untuk bersungguh-sungguh berusaha. Wajar, karena ini adalah step selanjutnya setelah kita berusaha. Kuasa Tuhanlah yang akan membuat apapun usaha kita berhasil. Ada petikan yang sangat bagus di novel ini tentang itu:
Antara sungguh-sungguh dan sukses itu tidak bersebelahan, tapi ada jarak. Jarak ini bisa hanya satu sentimeter, tapi bisa juga ribuan kilometer. Jarak ini bisa ditempuh dalam hitungan detik, tapi juga bisa puluhan tahun. Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling ujung. Sabar yang bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, bahkan seakan-akan itu sebuah keajaiban dan keberuntungan. Padahal keberuntungan adalah hasil kerja keras, doa, dan sabar yang berlebih-lebih.‘.
Ada sebuah antiklimaks yang menurut saya cukup mengganggu dari novel ini. Awalnya novel ini berjalan smooth, saya cukup menikmatinya. Begitu juga saat Alif menjadi mahasiswa, berguru pada Bang Togar, sampai ke perjuangan memperebutkan jatah studi banding ke Quebec. Semuanya smooth. Sayangnya ketika Alif sudah sampai Kanada entah kenapa novel ini hanya menjadi semacam liburan saja. Sisi inspiratifnya memudar. Padahal awalnya novel ini cukup inspiratif, apalagi membaca perjuangan Alif lolos Ujian Persamaan SMA dan SNMPTN dengan ilham timnas Denmark yangjuara EURO Cup 1992. Memang ada cerita yang bisa kita pelajari dari Alif saat dia mengadakan program TV yang mengundang tokoh nasional Kanada, namun selain itu kita hanya ‘dipameri’ tentang Kanada dan liburan Alif. Agak disayangkan menurut saya.
Selain itu apa-apa yang diperoleh Alif di Kanada tampak begitu mudah. Tidak sampai harus bersabar keinginan itu bisa terpenuhi. Mungkin maksud penulis, ini adalah buah dari kesabaran Alif saat di tanah air yang begitu banyak ditimpa musibah. Tapi menurut saya kalau semua keinginan Alif itu terpenuhi malah jadi mengurangi moral yang ada di cerita ini. Cerita malah menjadi turun ‘kualitas’ karena menjadi hanya sekedar liburan belaka.
Terlepas dari itu semua, saya benar-benar kagum dengan cara penulis mengolah kata menjadi tulisan. Sama seperti novel sebelumnya, bisa dibilang novel ini penuh dengan pelajaran-pelajaran yang bisa kita ambil dengan tanpa terkesan menggurui. Mengedapankan kata kunci ‘sabar’ tentunya ada pasangan yang menyertainya, yaitu kesusahan-kegagalan-ketidakberhasilan-dan-kata-semacam-itu. Bagusnya penulis, kesusahan itu tidak ditampilkan secara lebay bak sinetron. Semuanya dalam proporsi yang tepat. Saat ayah Alif meninggal, tentu saja Alif sedih, namun penulis tidak mengeksplorasi kesedihan itu menjadi sesuatu yang mengharu-biru. Proporsional saja, termasuk saat Alif ‘bangkrut’ dan dirampok. Saya cukup suka keproporsionalan itu. Ah, seandainya saya dikarunia bakat seperti Fuadi. #ngarep
Terakhir, memang sejujurnya saya lebih suka Negeri 5 Menara daripada yang ini karena ada banyak ‘rahasia’ di novel yang pertama itu. Namun bukan berarti novel ini kalah kelas. Tidak, karena tiap novel tentunya ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. <


Tidak ada komentar:

Posting Komentar